REFLEKSI PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


I.    PENDAHULUAN

            Masalah Hak Asasi Manusia merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah Hak Asasi Manusia, antara lain : Pertama, Hak Asasi Manusia merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena (1) topik Hak Asasi Manusia  merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: Hak Asasi Manusia, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu Hak Asasi Manusia  selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah Hak Asasi Manusia secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima bantuan. Isu Hak Asasi Manusia sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, Hak Asasi Manusia sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme menganggap Hak Asasi Manusia itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang Hak Asasi Manusia sesuai dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang Hak Asasi Manusia, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat Hak Asasi Manusia sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan hak-hak kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
            Hak Asasi Manusia dan demokrasi adalah dua konsep yang dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi Hak Asasi Manusia dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Hak Asasi Manusia dipahami bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial.
            Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Konsepsi Hak Asasi Manusia dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 152-162).  Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia seharusnya tidak terjebak pada konsep ruledriven, melainkan tetap mission driven, tetapi mission driven yang dimaksudkan adalah tetap didasarkan atas aturan (Ibid : 160-161), karena tidak mungkin demokrasi dibangun tanpa pilar dan komitmen yang kuat untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia.
            Ralf Dahrendorf, ahli sosiologi yang mengamati konflik dan kebebasan di Jerman, berpendapat, bahwa Negara Hukum demokratis (NHD) mensyaratkan 4 (empat) perangkat kondisi sosial, yaitu pertama, perwujudan nyata atas persamaan status kewarganegaraan bagi semua peserta dalam proses politik; kedua, kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dan elite di mana tak satupun mampu memonopoli jalan menuju ke kekuasaan; ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik; keempat, menerima perbedaan pendapat dan konflik kepentingan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan elemen kreatif dalam kehidupan sosial (Reinhard Bendix, 1973 : 124).
            Kasus bentrokan berdarah yang menewaskan tiga orang anggota Satpol PP, lebih dari seratus orang luka berat dan puluhan kendaraan dibakar massa di Kawasan Makam Mbah Priok, Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara (Harian KOMPAS, 14 April 2010 : 1) yang memunculkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam tingkat pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh  Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Utara serta sejumlah pejabat ditingkat pelaksana di lapangan pada saat kejadian perkara (http://www.infosketsa.com, diakses tanggal 13 Mei 2010).  Lebih lanjut, kasus penahanan mantan Komjen Susno Duadji yang telah membongkar mafia kasus dan perkara Arwana yang pada akhirnya dijadikan tersangka oleh Mabes Polri tanpa alasan penahanan dan alat bukti penyebab dirinya ditahan (http://www.metrotvnews.com, diakses tanggal 12 Mei 2010).  Kemudian kasus penganiayaan yang dilakukan oleh sejumlah oknum polisi terhadap Satpam Hambour Bay, Batam, Ibrian yang ditangkap karena berkelahi dengan sopir taksi bernama Edi yang merupakan anak buah seorang perwira Polda Kepulauan Riau Ajun Komisari Polisi Muhammad Soleh. Penganiayaan dilakukan dengan cara disundut dengan api rokok, ditendang, ditinju dan ditampar berkali-kali hingga mengakibatkan sekujur tubuh Ibrian mengalami luka-luka (http// www.okezone.com, diakses tanggal 12 Mei 2009).            Konflik sosial akhir-akhir ini berkembang sangat memprihatinkan. Diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu 1965 – Januari 2002 yang berpuncak pada korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon, dan Papua (Harian KOMPAS, 25 Maret 2002 : 1). Belum hilang dari ingatan kita, peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali pada 12 November 2002 yang menelan korban meninggal dunia sekitar 181 orang dan ratusan yang luka-luka. Disamping itu, fenomena kemanusiaan dalam konteks hak asasi manusia yang juga mengundang keprihatinan dalam kehidupan sehari-hari adalah banyaknya anak dibawah usia 18 tahun yang harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keuangan keluarganya.
Kapan jaminan perlindungan hak asasi manusia dinyatakan telah di laksanakan? Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional maupun telah dibentuk lembaga untuk penegakannya, tetapi belum menjamin bahwa hak asasi manusia dilaksanakan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari atau dalam pelaksanaan pembangunan. Tulisan ini merupakan upaya untuk merefleksikan kembali pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari perspektif hak-hak sipil. Tulisan ini juga mempertanyakan sejauh mana instrumen nasional hak asasi manusia telah menjamin perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Faktor-faktor apa saja penyebab terjadinya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia?

II.  Implementasi Demokrasi di Indonesia dari Perspektif Hak-Hak Sipil
A. Implementasi hak-hak sipil di Indonesia
                  Masuknya pasal-pasal Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan  terutama Ir.Soekarno dan Mr.Soepomo dan kelompok yang menghendaki dimasukkanya konsep hak asasi manusia yaitu Drs.Mohammad Hatta. Dari kedua pendapat di atas, maka memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945, rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Drs.Mohammad Hatta yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Drs.Mohammad Hatta melihat dalam kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa. Sedangkan pemikiran Ir.Soekarno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
            Kekhawatiran Drs.Mohammad Hatta akhirnya terbukti. Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke-21, persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional.
            Para pendiri negara kita telah mengkonsepsikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, negara yang demokratis (berkedaulatan rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berkeadilan sosial, atau disebut oleh Prof. Mukhtie sebagai “theo-democratische-sozial-rechstaat” (Abdul Mukhtie Fajar, 2004 : 85). Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum, memiliki beberapa tujuan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya menyebutkan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga ia terkategori sebagai bagian dari bentuk negara hukum modern (modernsrechtstaat). Meskipun demikian, penggunaan istilahan modern dalam arti tersebut seringkali pemahamannya terjebak dalam simplifikasi “normativisme”. Karena istilah modern tidak berarti bahwa soal hukum harus tertulis, dan atau terundangkan, tetapi secara substansial mengandung pengertian pembeda dan lebih luas, yakni upaya mencapai tujuan penyejahteraan warga negaranya.
            Salah satu pemahaman terhadap konsep “penyejahteraan warga negaranya” dalam konsep tanggung jawab negara adalah upaya perlindungan hukum bagi warganya sendiri. Artinya, hukum sebagai sarana dan sistem perlindungan bagi rakyat yang efektif, terutama dari berbagai upaya pemaksaan kehendak atau bentuk kekerasan yang dilakukan oleh organ/struktur yang berkuasa. Hal ini berarti bahwa pendekatan sistem dalam bidang hukum harus memperhatikan pula bagaimana organ/struktur negara yang memiliki lembaga-lembaga (pembentuk, penegak) hukum bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dalam ruang kehidupan warga negaranya.
            Masih terbenam dalam ingatan, kasus Marsinah. Kasus yang berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993 yang berbuntut di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa rekan-rekannya. Pada 5 Mei 1993, Marsinah ‘menghilang’, yang kemudian ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan pada 9 Mei 1993 di hutan Wilangan, Nganjuk. Perkembangan pengusutan kasus ini membuktikan adanya keterlibatan 6 anggota TNI-AD dari kesatuan Danintel Kodam, Kopasus, 20 anggota Polri  dan 1 orang dari Kejaksaan. Namun perlakuan Kodim tidak berhenti pada PHK 13 orang dan tewasnya Marsinah, karena pada tanggal 7 Mei 1993 masih ada 8 orang buruh PT.CPS yang juga di PHK oleh pihak Kodim di Markas Kodim (Saurip Kadi, 2000 : 24).
            Peristiwa berdarah di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujung Pandang pada tanggal 26 April 1996 juga menyisakan kenangan yang memilukan. Kasus yang berawal dari aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Muslim Indonesia terhadap kenaikan tarif angkutan kota (pete-pete) bagi kalangan pelajar dan mahasiswayang dikenai aturan lebih dari yang ditetapkan Menteri Perhubungan yaitu sebesar Rp.100,-. Dalam kasus tersebut, aparat keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa dengan menyerbu kampus UMI dan menembak dengan peluru tajam sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa (Ibid : 27 ).
             Di dalam perlindungan hak-hak sipil dan politik, peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan politik tergolong ke dalam negative right, yaitu hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Bila negara bersifat intervensionis, maka tidak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur didalamnya akan dilanggar negara (http://www.hukumham.com, diakses tanggal 07 November 2007).
            Lebih lanjut, hak – hak sipil (kebebasan–kebebasan fundamental) meliputi hak–hak berikut :
 1)     hak hidup;
 2)     hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;
 3)     hak bebas dari perbudakan;
 4)     hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
 5)     hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri;
 6)     hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;
 7)     hak atas praduga tak bersalah.
 8)     hak kebebasan berpikir;
 9)     hak berkeyakinan (consciense) dan beragama;
10)    hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
11)    hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
12)    hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
13)    hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
14)    hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum;  dan
15)    hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
            Beberapa langkah konkret yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalan menjamin dan melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara, antara lain yaitu :
1.   Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia yang terkait tentang Hak-hak Sipil dan Politik;
2.   Mengamandemenkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memasukan Bab yang mengatur Hak Asasi Manusia tersendiri;
3.   Harmonisasi berbagai Peraturan Perundang-undangan;
4.   Melakukan Deseminisasi dan Sosialisasi di seluruh wilayah Republik Indonesia terkait dengan Hak-hak Sipil dan Politik;
5.   Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perlindungan anak dan Komisi Nasional Perempuan;
6.   Pembentukan Kementerian Negaran Urusan Hak Asasi Manusia yang menangani masalah Hak Asasi Manusia yang kemudian di gabung dengan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia;
7.   Mengadili para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di masa lalu melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hock;
8.   Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009 yang berisi tentang pedoman kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara berencana dan terpadu pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (Ibid).
        
         Bagaimana dengan jaminan perlindungan hak-hak sipil yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen?
Pada tahun 2006 pemerintah dan DPR menyetujui dua undang-undang yang dimaksudkan untuk memperbaiki  kondisi hak-hak sipil di Indonesia. Dua undang-undang tersebut adalah : Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; dan Undang-Undang No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Abdul Hakim Garuda Nusantara, 2008 : 3). Undang-undang tentang Kewarganegaraan RI bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, di mana seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam jaman masyarakat bangsa bernegara hukum, seseorang yang tanpa kewarganegaraan hampir dipastikan akan dengan mudah diingkari hak asasinya, baik itu hak-hak sipil dan politiknya, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Pada sisi yang lain undang-undang tersebut hendak mencegah atau mengakhiri peristiwa di mana orang memperoleh kewarganegaraan ganda. Sedangkan Undang-undang Administrasi Kependudukan, dibuat untuk tujuan memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang di alami oleh Penduduk Indonesia, seperti, kelahiran, kematian, perpindahan, dan lain sebagainya, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
         Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 sebelum amandemen dipandang oleh Kuntjoro Purbopranoto belum disusun secara sistematis. Selain itu, dalam UUD 1945 hanya empat pasal yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia, yakni Pasal 27, 28, 29 dan 31 (Koentjoro Poerbopranoto, 1975 : 120). Meskipun demikian, bukan berarti hak asasi manusia kurang mendapat perhatian. Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan. Dari ke-empat pasal tersebut, terdapat lima pokok mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945. Pertama, tentang kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 Ayat 1); Kedua, hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 Ayat 2); Ketiga, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 28);
Ke-empat, kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk dijamin oleh negara (Pasal 29 Ayat 2); dan Kelima, hak atas pengajaran (Pasal 31 Ayat 1)
            Pasca amandemen UUD 1945, jaminan hak asasi manusia tampak lebih dipertegas (dieksplisitkan) dan lebih terinci. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 pasca amandemen, jaminan hak asasi manusia ditempatkan dalam bab tersendiri, yakni Bab XA yang terdiri atas Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J. Macam-macam hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 pasca amandemen, yaitu :
1.       Hak hidup (Pasal 28 A);
2.       Hak membentuk keluarga (Pasal 28 B);
3.       Hak mengembangkan diri (Pasal 28 C);
4.       Hak atas hukum, hak bekerja, hak atas pemerintahan, dan hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D);
5.       Hak beragama, hak atas kepercayaan, hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan megeluarkan pendapat (Pasal 28 E);
6.       Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28 F);
7.       Hak atas perlindungan pribadi dan keluarga (Pasal 28 G);
8.       Hak atas kesejahteraan lahir bathin (Pasal 28 H);
9.       a.   Jaminan pemenuhan / tidak dapat dikurangi hak asasi manusia dalam keadaan apapun (yaitu : hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut);
b.       Hak bebas dari perlakuan diskriminatif
c.       Hak atas identitas budaya;
d.       Hak atas masyarakat tradisional;
e.       Kewajiban Pemerintah untuk melakukan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (Pasal 28 I);
10.   Kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati hak asasi orang lain (Pasal 28 J).
            Apabila diperhatikan secara cermat, meskipun jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 pasca amandemen hanya terdapat dalam beberapa pasal, tetapi sesungguhnya secara substansial telah mencakup berbagai macam jaminan hak asasi manusia, seperti yang termuat dalam Universal Declaration of Human Rights maupun penggolongan macam-macam hak asasi manusia yang lain seperti yang telah dikemukakan diatas.
            Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional dan telah dibentuk lembaga yang berkomitmen melindungi hak asasi manusia, tetapi belum menjamin bahwa perlindungan hak asasi manusia telah dilaksanakan.            Lukman Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator bahwa suatu pembangunan telah melaksanakan hak-hak asasi manusia apabila telah menunjukkan adanya indikator-indikator, sebagai berikut : Pertama, dalam bidang politik berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan kepentingan dalam masyarakat; kedua, dalam bidang sosial berupa : (1) perlakuan yang sama oleh hukum antara wong cilik dan priyayi; (2) toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama dan ras warga negara Indonesia; serta Ketiga, dalam bidang ekonomi dalam bentuk tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku (Paul S.Baut & Beny K.Harman, 1988 : 227). Ketiga indikator tersebut, jika dipakai untuk melihat pelaksanaan pembangunan di Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan ekonomi, masih jauh dari yang diharapkan. Kehidupan politik masih cenderung didominasi konflik antar elit politik sering berimbas pada konflik dalam masyarakat (konflik horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan kepentingan diri atau kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat sebagai konstituennya diabaikan. Ingat berkecamuknya konflik di Ambon, Poso, konflik prokontra pemekaran provinsi di Papua, dan konflik antar simpatisan partai politik pada akhir Oktober 2003 di Bali.
            Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.
            Di bidang hukum, masih terlihat lemahnya penegakan hukum, banyak pejabat yang melakukan pelanggaran hukum sulit dijamah oleh hukum, sementara ketika pelanggaran itu dilakukan oleh wong cilik hukum tampak begitu kuat cengkeramannya. Dalam masyarakat juga masih tampak kurang adanya toleransi terhadap perbedaan agama, ras konflik. Berbagai konflik dalam masyarakat paling tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA, seperti kasus penganiayaan oleh kelompok tertentu terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Ciketing, Bekasi pada Ahad 12 September 2010 yang tengah berjalan menuju lokasi kebaktian di tanah lapang Desa Ciketing (http//www.okezone.com, diakses tanggal 16 September 2010).  
            Sedangkan di bidang ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang yang menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk berusaha. Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia begitu sulit untuk keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Ini berarti harus diakui bahwa dalam pelaksanaan hak-hak sipil masih banyak terjadi pelanggaran dalam berbagai bidang kehidupan.
            Banyaknya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia, baik dilakukan oleh Pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Namun ada kecenderungan pihak Pemerintah lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan cara-cara manipulasi sehingga mengorbankan hak-hak pihak lain. Seperti kebijakan pemerintah mengenai impor beras, dirasakan sangat merugikan para petani.
            Pelanggaran hak-hak sipil yang dilakukan oleh masyarakat, terutama tampak pada kasus konflik horizontal di berbagai daerah, seperti konflik berdarah di Palangkaraya, Sambas, kasus Sanggauledo, Tasikmalaya, Maluku dan Ambon. Salah satu kebiasaan yang sudah membudaya, yaitu pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri (eigenrichting) dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik sudah sangat kuat mempengaruhi kalangan pelajar dan mahasiswa, serta pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau tertangkap tangan melakukan pencurian.
              
B.     Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia
            Sampai saat ini, tuntutan akan ‘hak-hak sipil’ seringkali ditanggapi sebagai tuntutan ‘negatif’ (masyarakat) yang berhadapan dengan tuntutan ‘positif’ (negara) (http://www.makaarim.wordpress.com, diakses tanggal 22 Oktober 2007).  Mengapa pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak-hak sipil sering terjadi di Indonesia, meskipun seperti telah dikemukakan di atas telah dijamin secara konstitusional dan telah dibentuknya lembaga penegakan hak asasi manusia?  Dalam kasus warga Hitam Amerika misalnya, meskipun ‘kebebasan sipil’ dasar mereka secara konstitusional dilindungi, namun ‘hak-hak sipil’ mereka masih dilanggar (Abdullahi Ahmed An-Na’im, 1997 : 67).
             Apabila dicermati secara seksama ternyata faktor penyebabnya sangat kompleks, faktor – faktor penyebabnya antara lain:
a.       Masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep hak-hak sipil antara paham yang memandang hak asasi manusia bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham hak asasi manusia tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama dalam pelaksanaannya (partikularisme).
                  Di Indonesia, ada kecenderungan Pemerintah menganut partikularisme dengan alasan bahwa hak-hak sipil harus dipandang dari beragam perspektif, karena pada umumnya masyarakat dunia ketiga sangat beragam. Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa konsep hak asasi manusia sebagiamana konsep Pancasila adalah hasil galian terhadap sejarah kehidupan bangsa. Menurut aliran pemikiran  partikularisme, hak-hak sipil sudah dijamin pelaksanaannya, tidak saja secara konstitusional namun juga dalam kenyataan struktural.  Aliran ini dianut oleh Pemerintah Orde Baru.
                  Departemen Luar Negeri RI dalam rangka membela Indonesia di berbagai forum internasional, mengajukan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yaitu : universalitas, pembangunan nasional, kesatuan hak asasi manusia, obyektivitas atau non selektivitas, keseimbangan, kompetensi nasional, dan negara hukum (Saafroedin Bahar, 1994) : 93). Pernyataan Departemen Luar Negeri RI di atas, mencerminkan sikap ambivalensi. Dikatakan demikian, karena mengakui prinsip hak asasi manusia adalah universal, tetapi dalam implementasinya partikularistik. Pemahaman yang demikian dianut oleh kelompok yang mengatasnamakan Forum Eksponen’ 98 (FE 98) yang menuntut dibubarkannya Komisi Pemeriksa Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia Trisakti, Semanggi I dan II.
                  Selain alasan legalitas, juga dinilai Komnas HAM khususnya KPP HAM lebih loyal kepada kepentingan asing daripada kedaulatan Indonesia (Harian KOMPAS,  25 Maret 2002 : 11). Sikap ini menunjukkan pandangan bahwa masalah hak asasi manusia adalah masalah urusan dalam negeri. Munculnya sikap tersebut tidak lepas karena alasan untuk melindungi kepentingan negara dan pembangunan. Namun dalam kenyataannya cenderung dimanipulasi untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Meski dengan alasan kepentingan negara, tetapi bukankah eksistensi negara untuk memenuhi kepentingan manusia sebagai warganya.
            Kasus penggusuran paksa terhadap 350 KK atau 1.007 jiwa yang terdiri dari 477 perempuan, 339 anak-anak 129 laki-laki serta 12 orang penderita keterbelakangan mental dari warga etnis Cina Benteng (http://www.politikana.com, diakses tanggal 13 April 2010) yang tinggal di Kampung Lebak Wangi, Kelurahan Mekar Sari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang oleh Pemkot Tangerang, Banten. Padahal  warga etnis Cina Benteng telah menghuni kawasan tersebut sejak abad ke 17 dan telah berasimilasi dengan penduduk setempat selama berabad-abad (http://www.detik.com, diakses tanggal 13 April 2010). Kasus tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan Pemerintah masih menganut aliran pemikiran partikularisme yang didasarkan pada alasan untuk melindungi kepentingan negara dan pembangunan, namun dalam pelaksanaannya telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak sipil dari warga etnis Cina Benteng yang juga telah bertahun-tahun tidak diakui hak-hak politiknya.
                  Agar perbedaan antara aliran universalisme dan partikularisme tidak menjadi kendala bagi penegakan hak asasi manusia, maka perlu bersikap arif bijaksana dengan cara melihat kekurangan selama ini dalam pelaksanaan hak asasi manusia dengan belajar keberhasilan pelaksanaan hak asasi manusia di dunia internasional. Memang harus diakui, bahwa manusia hidup dalam pelbagai masyarakat yang berlainan nilai-nilai sosial dan budaya. Tetapi harus diingat bahwa manusia memiliki semua hak manusiawi dasar yang melekat padanya karena kemanusiaannya. Sehingga, tentunya tidak dapat dibenarkan karena alasan perbedaan sosial budaya kemudian dalam implementasi hak asasi manusia, justru secara substansi merupakan pelanggaran hak asasi manusia. 
b.       Adanya dikhotomi Individualisme dan Kolektivisme yang seharusnya tidak dipandang secara kontradiktif karena hal itu merupakan fakta sosial dan masing-masing memiliki tempatnya, bahkan ada hak-hak yang memiliki dimensi individual dan kolektif.
                  Selama ini, pandangan yang muncul dan disosialisasikan di Indonesia, kepentingan umum harus dikedepankan dibandingkan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, ketika seseorang berusaha memperjuangkan hak-haknya sering dinilai individualistik. Pandangan yang demikian tentunya tidak menguntungkan bagi upaya penegakan hak asasi manusia. Sebab yang terjadi, dengan alasan demi kepentingan umum, maka kepentingan individu menjadi korban yang berarti hak-haknya sebagai individu tidak dapat diwujudkan.  Oleh karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana kepentingan tersebut terakomodasi. Misalnya, ketika hak milik pribadi diperlukan oleh negara untuk kepentingan pembangunan, maka orang yang bersangkutan tetap harus dijamin hidup secara layak misalnya dengan pemberian ganti rugi dengan pertimbangan rasional dan bijaksana. Atau memperhatikan kenyataan yang ada, ketika hak-hak kebebasan individu di kedepankan, maka potensinya sebagai manusia akan berkembang secara optimal dan hal itu akan berimbas kepada kemajuan masyarakatnya, karena dalam kebebasan individu, bukankah masih ada tanggung jawab sosial? Oleh karena itu, pandangan yang mengkontradiksikan antara individualisme dan kolektivisme dinilai kurang tepat karena hal itu merupakan kenyataan sosial dan manusiawi.
c.       Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu Polisi, Jaksa dan Pengadilan.
                  Tradisi-tradisi normatif yang merumuskan gagasan mengenai martabat, kebebasan serta kesejahteraan ternyata muncul dalam persepsi yang bervariasi. Bahkan dalam masyarakat yang sama, persepsi ini bisa berbeda dalam waktu tertentu atau dalam fase tertentu pada waktu yang sama, sebagai akibat persaingan kepentingan. Dalam kondisi ini kebutuhan mengenai aturan umum tentang Hak-hak Sipil dan Politik menjadi relevan. Hak-hak ini muncul dengan pendekatan yang liberal atau sosial demokratis dalam memandang cita martabat, kebebasan dan kesejahteraan dalam konteks negara bangsa. Artinya, ini mengandaikan keharusan adanya negara di satu pihak dan keinginan untuk melindungi individu dari pelanggaran oleh negara melalui aparatnya. Lepas dari asal-usulnya yang cenderung liberal, kita harus menerima sebagai pemikiran umum ideologi dan konstitusi di seluruh dunia.
                  Kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Wakapolres Buol Kompol M.Ali Hadinur karena dinilai tidak melaksanakan perintah pimpinan (Kapolres Buol) sehingga menyebabkan meninggalnya 7 warga sipil dan 21 korban luka tembak lainnya yang dilakukan Briptu Amirullah dalam kasus penyerangan yang dilakukan 500 orang warga Buol terhadap Mapolsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Penyerangan yang dilakukan oleh 500 orang warga Buol disebabkan oleh kekecewaan warga saat menerima jenazah Kasmir Timumun (19 tahun) yang meninggal karena tindakan yang tidak wajar. Diduga korban mengalami siksaan fisik sebelum meninggal di rumah tahanan Polsek Biau, Kabupaten Buol.           Pihak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai bahwa peristiwa kekerasan tersebut merupakan bentuk akumulasi terhadap penanganan masalah hukum di tingkat kepolisian yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (http://news.okezone.com,  diakses tanggal 28 September 2010). Peristiwa tersebut telah mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap berfungsinya lembaga penegak hukum. Jika kondisi kurang percaya masyarakat terhadap lembaga penegak hukum semakin menguat, maka dapat dipastikan masyarakat akan menggunakan cara-cara lain di luar prosedur hukum dalam mengatasi berbagai masalah konflik atau bentuk pelanggaran hukum. Hal ini tentunya akan mempersulit upaya penegakan hak-hak sipil di Indonesia.
d.       Pemahaman yang belum merata baik di kalangan sipil maupun militer, seperti kasus bentrok antara anggota Brimob dengan warga Manokwari, Papua Barat pada tanggal 15 September 2010 yang mengakibatkan tewasnya 2 warga sipil dan seorang lagi kritis.  tujuh anggota Brimob Manokwari diperiksa oleh Polres Manokwari, Papua terkait bentrokan tersebut (http://www.tribunnews.com, diakses tanggal 17 September 2010).
e.       Kurangnya pemahaman tentang hak asasi manusia di kalangan militer, terlihat dari sikapanya yang bertindak tidak proporsional, represif, bahkan nyaris seperti menghadapi musuh dengan menggunakan peluru tajam yang mematikan ketika berhadapan dengan para demonstran yang sedang menyuarakan pendapatnya.
            Upaya untuk menempatkan militer hanya pada fungsi pertahanan dan Polri pada fungsi keamanan merupakan bukti bahwa militer sering terjebak pada pelanggaran hak asasi manusia. Demikian halnya dengan Polri yang telah lama dididik dengan pola militer, maka masih terlihat dengan jelas perilaku Polri yang tidak banyak berbeda dengan perilaku militer dalam menangani masalah-masalah ketertiban masyarakat, yaitu represif dan mengedepankan kekerasan fisik. Mestinya perilaku Polri dalam upaya menertibkan masyarakat lebih mengedepankan fungsi penegakan hukum.

III.    SIMPULAN
            Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas dapat diajukan kesimpulan sebagai berikut :
·         Konsepsi hak asasi manusia itu memiliki spektrum yang luas dan memperlihatkan tolak tarik antara peran negara dan peran warga negara dalam pelaksanaannya. Suatu negara yang dikecam dunia internasional sebagai pelanggar hak asasi manusia kerapkali berdalih bahwa yang dilakukannya justru melindungi hak asasi manusia kolektif atau hak asasi manusia yang lebih luas, sebaliknya suatu negara lain yang dikecam tidak memiliki kepedulian bagi hak masyarakat sebagai satu kesatuan (kolektif) dapat berdalih bahwa kebijakannya justru untuk melindungi hak-hak individu yang tidak dapat diganggu gugat.
·         Manusia memiliki semua hak manusiawi dasar yang melekat padanya karena kemanusiaannya. Sehingga tidak dapat dibenarkan karena alasan perbedaan sosial budaya kemudian dalam implementasi hak asasi manusia, justru secara substansi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
·         Dalam rangka perlindungan hak-hak sipil, peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil tergolong ke dalam negative right, yaitu hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Bila negara bersifat intervensionis, maka tidak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur didalamnya akan dilanggar negara.
·         Kemauan politik Pemerintah dan pemahaman strategis terhadap hak asasi manusia merupakan kunci utama yang mampu menjamin perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.



















1 comment: