PERADILAN ADMINISTRASI DIBIDANG PERPAJAKAN


PERADILAN ADMINISTRASI DIBIDANG PERPAJAKAN



 Oleh :
Johny Koynja, SH., MH




A. Peradilan

Di dalam ilmu hukum sering dijumpai pemakaian istilah peradilan, pengadilan, keadilan. Dilihat   dari segi bahasa,  istilah  tersebut   berasal dari kata
dasar “adil”, yang dapat diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.28)
Meskipun demikian apa yang disebut adil itu sulit untuk didefinisikan, karena apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu adil menurut yang lainnya,  yang dirasakan adil pada suatu waktu atau tempat belum tentu sama halnya dalam waktu atau tempat yang lainnya. Dengan perkataan lain apa yang dinamakan adil, atau juga keadilan, itu tergantung pada waktu, tempat dan ideologi yang dianut seseorang atau suatu masyarakat.
 R. Subekti & R. Tjitrosoedibio, menyatakan: “Pengadilan (rechtbank, court) adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutusi sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak, judiciary), ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan”.29)
Sedangkan Rochmat Soemitro menyatakan:
       Peradilan (rechtspraak) ialah suatu proses penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan pengadilan .Pengadilan, ialah cara mengadili atau usaha memberikan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh badan pengadilan”. “Badan pengadilan ialah suatu badan, dewan, hakim atau instansi pemerintah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan wewenang untuk mengadili sengketa hukum”.30)

Dari pendapat Rochmat Soemitro itu dapat dilihat bahwa titik berat peradilan tertuju pada prosesnya, pengadilan kepada cara sedangkan badan pengadilan tertuju pada badan, dewan, hakim, instansi pemerintah.
Sjachran Basah berpendapat bahwa untuk penggunaan istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan itu di dalam rangka menegakkan hukum atau “het rechtspreken31).
 Jadi pengadilan itu berkaitan erat dengan peradilan namun pengadilan bukanlah merupakan satu-satunya wadah yang menyelenggarakan peradilan.
Menurut Rochmat Soemitro, Peradilan merupakan suatu kekuasaan (dalam arti functie) yang berdiri sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya.32) sedangkan Sjahran Basah berpendapat bahwa peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum “in concreto” dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum material, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan hukum formal.33)
Mengenai unsur-unsur peradilan pada umumnya berikut akan dibandingkan menurut pendapat Rochmat Soemtiro dan  Sjahran Basah:34)
Tabel : 1. Unsur-unsur Peradilan Pada Umumnya.

Rochmat Soemitro

Sjahran Basah

a.       Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan
b.       Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit,
c.       Ada sekurang-kurangnya dua pihak,
d.       Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan

a.       Adanya suatu aturan hukum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan

b.       Adanya suatu sengketa yang konkrit
c.       Ada sekurang-kurangnya dua pihak
d.       Adanya badan peradilan yang berwenang memutuskan sengketa
e.       Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil (a) di atas

Keterangan :

Unsur (a) sampai dengan unsur (d) sama, sedangkan unsur (e) merupakan tambahan.
Ad. a. adanya suatu aturan hukum yang abstrak.   

Dalam setiap peradilan, baik ini merupakan peradilan sipil, maupun merupakan peradilan pidana, tentu terdapat suatu aturan abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan. Aturan itu dapat berupa aturan tertulis yang berbentuk undang-undang dan sebagainya; tetapi dapat juga berupa aturan yang tak tertulis, yang diakui oleh undang-undang seperti ketentuan hukum adat. Aturan ini harus sudah ada pada saat akan diterapkan oleh petugas. Pada suatu waktu ada kalanya bahwa tiada aturan yang dapat diterapkan. Maka dalam hal demikian hakim mempunyai tugas menciptakan hukum (“rechtschepping”), sebab seorang hakim tidak dapat menolak melakukan peradilan, (asas ius curia novit) seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang , Nomor 14 Tahun 1970, yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Ad. b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit.

Perselisihan itu harus ada, artinya memang sudah terjadi dalam praktek. Belum cukup dengan syarat itu, sebab syarat lainnya ialah bahwa perselisihan itu harus dikemukakan pada instansi yang berwajib, untuk diputuskan.
            Dalam peradilan pidana pesoalan (bukan perselisihan) menjadi konkrit, jika hal itu sudah diajukan oleh orang yang berkepentingan atau bila hal ini dikemukakan oleh kejaksaan.35)
Ad. c. Sekurang-kurangnya ada dua pihak.

Untuk dapat dikatakan ada suatu sengketa atau perselisihan, diperlukan paling sedikit dua pihak. Jika mengenai satu soal tertentu pada saat dan keadaan yang sama ada pendapat yang berlainan antara dua pihak, maka dikatakan ada suatu perselisihan faham. Dan perselisihan faham ini merupakan sebab bagi suatu peradilan.

Ad. d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.

Unsur  keempat   yakni  harus  ada  suatu aparatur yang mengadili perkara,       
artinya yang memberikan keputusan mengenai perkara yang diajukan kepadanya. Dimaksud dengan “memberi keputusan” ialah menetapkan suatu aturan hukum (yang abstrak) pada suatu perselisihan hukum yang konkrit, yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga dengan demikian berakhirlah perselisihan itu, kecuali dalam hal-hal di mana masih dimungkinkan adanya naik banding atau kasasi.
Ad. e. adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil (a) di atas.
Sjahran Basah menyatakan:
       Penambahan satu unsur itu didasarkan kepada alasan, yaitu untuk menjamin terlaksananya apa yang disebut unsur-unsur peradilan yang dikemukakan baik oleh Rochmat Soemitro, maupun oleh Sjahran basah  dari a sampai dengan d. Diperlukan adanya hukum formal untuk menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. Atau dengan lain perkataan Sjahran Basah Berpendapat, peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar (dapat bertindak semaunya) sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.36)

           
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka (the independence of judiciary) untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Azas “kekuasaan kehakiman yang merdeka” merupakan ciri khas dengara dengan predikat “negara hukum”. Azas tersebut secara tegas dinyatakan dalam ketentuan pasal 24 UUD 1945 dan ditegaskan kembali di dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970.
 Philipus M. Hadjon menyatakan:
        Menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidaklah hanya merumuskan azas “kemerdekaan” itu di dalam konstitusi atau di dalam peraturan perundang-undangan.
         Apakah azas kemerdekaan itu dilaksanakan dalam kenyataan tergantung dari komponen-komponen struktural dan fungsional yang menunjangnya.
         Komponen-komponen fungsional terdiri atas: bebas dari (fredoom from) campur tangan dan bebas untuk (freedom for) melaksanakan fungsi peradilan serta dihormatinya azas kekebalan hakim yaitu “no reprisal for their decisions”.
         Komponen-komponen  struktural terdiri atas: struktur dan organisasi Lembaga-lembaga Negara, struktur dan organisasi peradilan, sistem seleksi (calon) hakim dan status kepegawaian. 37)
Melihat dari sisi lain, menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian “independensi”, yaitu: pertama,structural independence’, yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain; kedua, ’functional independence’, yaitu indepensi yang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya; dan ketiga, ‘financial independence’, yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat menjamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.38)
Dari pendapat Jimly Assiddiqie tersebut, maka ada dua kemungkinan sifat kemandirian sebuah organ negara atau organ pemerintahan dalam hubungannya dengan  organ negara atau organ pemerintah yang lain, yakni:39)) pertama, organ tersebut  secara organisatoris dan fungsional  tidak terkait  dengan lembaga negara
atau lembaga pemerintahan yang ada pada saat itu. Lembaga semacam ini dikenal dengan istilah onafhankelijheid atau bebas/merdeka. Lembaga atau organ yang demikian dapat disebut sebagai lembaga yang merdeka atau berdaulat, bebas dari pengaruh-pengaruh kekuasaan yang lain. Lembaga yang termasuk jenis ini adalah Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksaan Keuangan  dan lain-lain; kedua, organ yang secara organisatoris masih terkait dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang ada pada saat itu, namun secara fungsional ia merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan. Lembaga semacam ini dikenal dengan istilah zelfstadigheid. Lembaga yang dalam menjalankan fungsinya bebas atau merdeka, namun masih termasuk dalam kesatuan suatu organ negara atau pemerintah. Contoh lembaga semacam ini adalah kepolisian Negara, Lembaga Pemerintah non Departemen dan lain-lain. Lembaga –lembaga tersebut meskipun secara organisatoris tidak berada dalam struktur formal pemerintahan akan tetapi pada dasarnya kesemuanya menjalankan fungsi pemerintahan dan merupakan alat pemerintah untuk mencapai tujuannya.
 Dalam ketentuan (Pasal 24 ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945). didapatkan pengertian bahwa kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi peradilan di Indonesia diselenggarakan untuk menegakkan hukum dan keadilan dan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dimungkinkan badan-badan lain di luar Mahkamah Agung untuk melakukan kekuasaan kehakiman harus ditata (diatur) dengan undang-undang dan tetap harus merujuk ketentuan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Kedudukan Mahkamah Agung dalam hal ini adalah sebagai lembaga Tinggi Negara. Dalam sistem perundang-undangan Indonesia mengenal adanya undang-undang payung (penggunaan istilah undang-undang payung (umbrella act),  di sini diacu dari Penjelasan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan: “Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia”.) disamping adanya undang-undang biasa. Undang-undang payung mengatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan pengaturan hal-hal yang bersifat detail yang merupakan penjabaran dari hal-hal yang bersifat pokok tersebut, diatur dengan undang-undang biasa.
Dimaksud undang-undang payung dalam bidang peradilan adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 1970 No. 74 – TLN No. 2951), yang diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Nama dari undang-undang tersebut memberikan petunjuk bahwa undang-undang tersebut berkedudukan sebagai undang-undang payung, karena mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang bersifat pokok. Sebagai konsekuensinya sudah barang tentu, peraturan perundang-undangan lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur peradilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman, pembentukannya senantiasa harus mengacu dan mendasarkan serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagai undang-undang payung (umbrella act). Untuk jelasnya maka dikutip lagi ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1970 (yang disempurnakan) :
       (1). Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a.       Peradilan Umum;
b.      Peradilan Agama;
c.       Peradilan Militer;
d.      Peradilan Tata Usaha Negara.

Penjelasan :
            
              Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu dan meliputi badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
              Peradilan Agama, Militer dan tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perdara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalu lintas, pengadilan anak-anak, pengadilan ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang.
         (2). Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi
         (3).Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh   pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Makamah Agung.
          (4).Mahkamah agung melakukan pengwasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Dari ketentuan pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 berikut penjelasannya tersebut dapatlah disimpulkan antara lain:
a.       Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dalam arti bahwa setiap lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan fungsi peradilan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman haruslah berpuncak ke Mahkamah Agung;
b.      Ketentuan adanya pembagian empat lingkungan peradilan sifatnya limitatif, dalam arti bahwa tidak dimungkinkan adanya lembaga peradilan di luar empat lingkungan peradilan tersebut;
c.       Penyebutan adanya kemungkinan badan kehakiman lain selain Mahkamah Agung diartikan bahwa pembentukannya harus berdasarkan undang-undang, bentuknya terikat dalam arti pertama, merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, dan kedua, dapat juga berupa pengkhususan dari salah satu lingkungan peradilan. Dengan perkataan lain bahwa pembentukan suatu badan peradilan haruslah berdasar pada ketentuan-ketentuan yang tersirat dan tersurat dalam undang-undang payungnya, dalam hal ini adalah Undang-undang No. 14 Tahun 1970, terlebih lagi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 24 dan 25.
d.      Pemberian perlindungan hukum (pengayoman) kepada para pihak yang memerlukannya harus tuntas, dalam arti apapun nama dan bentuk dari suatu badan peradilan, putusannya harus dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
e.       Lembaga peradilan yang berwenang melakukan kekuasaan kehakiman berdasarkan sistem peradilan di Indonesia menurut UUD 1945 adalah:
Pertama  : Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Kedua    : Peradilan Umum sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat   Banding.
Ketiga    : Peradilan Khusus sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding yang meliputi Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
            Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dipertegas lagi oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 1985 No. 73 -–TLN No. 3316). Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 dinyatakan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah dari dan pengaruh- pengaruh lainnya. Ketentuan ini memberi petunjuk yang lebih jelas lagi bahwa pemberian pengayoman/perlindungan hukum secara tuntas kepada pencari keadilan lewat peradilan harus berpuncak ke Mahkamah Agung. Dengan kata lain bahwa penyelesaian sesuatu sengketa lewat peradilan, di mana putusannya tidak dapat dimintakan, kasasi ke Mahkamah Agung maka fungsi pengayoman/perlindungan hukum terhadap penyelesaian sengketa yang bersangkutan, termasuk kategori tidak tuntas.

C. Peradilan Administrasi
Pasal 47 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 menyebutkan:
       Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Dan pengertian sengketa tata usaha negara didapati dalam rumusan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 yang menyatakan:
       Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, dasar yang melahirkan sengketa tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yang merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (rumusan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986).
Berkaitan dengan hal organisasi dan kompetensi absolut peradilan  administrasi negara Philipus M. Hadjon menyatakan:
         Kalau kita bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 seyogianya Peradilan Administrasi Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 merupakan suatu sistem umum peradilan administrasi negara, namun dengan berdasarkan rumusan kompetensi absolut peradilan administrasi negara (vide Pasal 1 angka 4) kiranya Peradilan Administrasi negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 hanyalah suatu peradilan administrasi khusus.
          Dengan pembatasan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berarti masih ada sengketa-sengketa administrasi lainnya yang tidak terjangkau oleh PTUN.40)

Dengan demikian pula disamping Peradilan administrasi Negara menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986, mungkin saja dimasa mendatang dibentuk Peradilan administrasi untuk menangani sengketa-sengketa yang bukan merupakan sengketa yang lahir dari keputusan yang berupa penetapan tertulis.41)
D. Peradilan Pajak.
 Di dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan:
        Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal pajak atas suatu:
         a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
         b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
         c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
         d. Surat Ketetapan Pajak Nihil
         e. Pemotongan atau pungutan oleh pihak ketiga berdasarkan   ketentuan-   ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Dari  ketentuan pasal tersebut terkandung makna bahwa penyelesaian masalah keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak terlebih dahulu harus menempuh upaya administratif.
Philipus M. Hadjon menyatakan: “Ada dua macam upaya administratif, yaitu, “banding administratif” dan prosedur “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi yang sama, yaitu, badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN, maka prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding administratif”.42)
Rochmat Soemitro menyatakan:43) “Lembaga keberatan pajak ini merupakan suatu sarana atau saluran hukum yang memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk mencari keadilan apabila ia merasa, bahwa dirinya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya atau merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak administrasi pajak (fiskus)”.
Lembaga keberatan adalah sarana untuk penyelesaian sengketa pajak antara wajib pajak dengan administrasi pajak (fiskus), yang dilakukan dalam tubuh administrasi pajak sendiri oleh suatu bagian tertentu (bagian doleansi/surat keberatan). Penyelesaian masalah keberatan baik mengenai segi hukumnya (rechmatigheid) maupun mengenai segi kebijaksanaan (doelmatigheid) dan dapat dilakukan berdasarkan kekeluargaan.
Ada pula keberatan yang diselesaikan oleh Gubernur, yaitu penerapan Ordonansi Kepatutan (Billijkheids Ordonnantie) terhadap pajak-pajak daerah sekedar pajak daerah yang harus dikurangkan  tidak melebihi suatu jumlah tertentu (Stb. 1928 No. 187). Presiden juga merupakan pejabat yang tidak termasuk dalam Direktorat Jenderal Pajak, yang diberi hak memutus sengketa perihal pajak yang tidak dapat diselesaikan melalui saluran-saluran hukum yang tersedia, dan yang harus diterapkan Ordonansi Kepatutan.
            Bohari, mengemukakan beberapa persoalan yang berhubungan dengan masalah “ keberatan” yaitu:
        A. Pokok persoalan.
        B. Pemasukan surat keberatan.
        C. Isi surat keberatan.

              D. Keputusan  surat keberatan. 44)


Kelanjutan dari pengajuan keberatan adalah pengajuan banding. Jika  keberatan atas suatu ketetapan pajak ditolak oleh Kepala Inspeksi Pajak, seluruh atau sebagian, maka surat keputusan itu menjadi titik tolak untuk mengajukan pengajuan banding.
Pengajuan banding harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan pada mulanya diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak (Stb. 1927 No.29 dan N0. 136 jo. UU N0. 5 Tahun 1959).
Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 tahun 1959 menyatakan bahwa terhadap keputusan Majelis Pertimbangan Pajak tidak terdapat upaya hukum lebih lanjut. Ini berarti bahwa putusan Majelis Pertimbangan Pajak dianggap sudah final dalam arti tidak bisa dimintakan upaya hukum lebih lanjut .
Secara implisit undang-undang ini menyatakan bahwa keputusan Kasasi dari Mahkamah Agung tak dapat dikeluarkan atas keputusan banding yang dikeluarkan oleh Majelis Pertimbangan Pajak. Untuk jelasnya diajukan kutipan dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Reg. No. 01/RUP/PDT/1986 atas permohonan kasasi yang diajukan oleh Udaya, Tax Consultant selaku pemegang kuasa dari PT. Caltex Pasific Indonesia terhadap keputusan Inspeksi Pajak Pekanbaru. Permohoan kasasi ini dinyatakan tidak dapat diterima, dengan pertimbangan yuridis yang pada pokoknya sebagai berikut:
-         bahwa atas permohoan kasasi tersebut, Mahkamah Agung perlu memutuskan terlebih dahulu apakah permohonan kasasi tersebut dapat diterima sebagai permohonan “kasasi biasa” menurut ketentuan Pasal 29 UU No. 14 Tahun 1970 jo. Pasal 10 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970;
-         Bahwa karena baik ketentuan Stb. 1927 No. 29 maupun UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 14 Tahun 1985, tidak menyatakan dengan tegas bahwa badan pengadilan dari salah satu lingkungan peradilan yang ada menurut UU No.14 1970, maka sekalipun dalam dunia ilmu hukum ada yang berpendapat bahwa Majelis Pertimbangan Pajak itu pada dasarnya merupakan suatu Badan Pengadilan Tata Usaha Negara, namun menurut hukum positif, Majelis Pertimbangan Pajak bukan suatu badan peradilan menurut Pasal 10 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1970;
-         Bahwa,…. (Varia Peradilan, Januari 1987).45)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pencari keadilan (wajib pajak) dalam penyelesaian perselisihan pajak, tidak dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Persoalan yuridis muncul kemudian akibat dari adanya ketentuan Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) UU PTUN No.5 Tahun 1986.
Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan:
(1)   Dalam hal satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
Penjelasannya, (antara lain sebagai berikut):
       Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding Administratif.”
       Contoh banding administratif antara lain: Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak….,
(2)   Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Penjelasannya:
Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan.
Ketentuan tersebut telah merubah secara mendasar keputusan dari Majelis Pertimbangan Pajak yang pada mulanya dianggap sudah final dan tidak dapat dimintakan upaya hukum lebih lanjut, akhirnya kemudian dapat dimintakan upaya hukum lebih lanjut.
Setelah melalui upaya administratif, maka terhadap keputusan banding  Majelis Pertimbangan Pajak yang tidak disetujui oleh wajib Pajak, dapat diajukan permohonan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk penyelesaiannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang menyatakan : “Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud pasal 48.”
Jadi ini berarti sengketa pajak tidak diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara selaku pengadilan tingkat pertama, melainkan diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selaku pengadilan ditingkat banding tanpa adanya pernyataan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, karena sebenarnya sengketa pajak tidak pernah diperiksa  oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Problem yuridis lain yang muncul adalah penggunaan istilah “banding”.
Pasal 51 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan:
       Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding;

Pasal 122 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan:
       Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Jadi di sini jelas terdapat dualisme dalam “banding” yaitu di satu pihak wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak dan dilain pihak wajib pajak dapat pula mengajukan banding atas putusan Majelis Pertimbangan Pajak kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Jadi di sini terjadi suatu tumpang tindih dalam permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak, disebabkan terdapat 2 (dua) badan/instansi yang berhak mengeluarkan keputusan terhadap pengajuan permohonan banding oleh wajib pajak pada perkara yang sama.
Kemudian untuk permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat dilakukan wajib pajak atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 131 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang menyatakan:

Pasal 5 ayat (2)
        Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi;
Pasal 131 ayat (1)
       Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada mahkamah Agung.

Problem yuridis tersebut kemudian teratasi dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Terhadap UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 27 menyatakan:
(1)   Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

(2)   Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Sehubungan dengan keberadaan Majelis Pertimbangan Pajak, Philipus M. Hadjon antara lain menegaskan:
        Dalam Stb. 1927 No. 29 jo No. 136 tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan Raad van Beroep merupakan salah satu badan peradilan. Ketentuan yang ada dalam Stb. Tersebut paling banter menyiratkan Raad itu seakan-akan sebagai suatu peradilan. Pasal-pasal yang menyiratkan itu adalah Pasal 1, Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4).
       Pasal 1 (2) : De  Raad do et   uitspraak    op   beroepschrften zake…….(dalam
       terjemahan Redaksi P.T Ichtiar Baru van Hoeve:      Majelis memutuskan perkara-perkara perpajakan ditingkat banding mengenai perkara-perkara banding yang diajukan secara tertulis mengenai,………).
       Dari rumusan kata …… doet uitspraak ….terkesan MPP adalah badan peradilan. Dalam bahasa kita “uitspraak” adalah putusan dalam arti vonis. Rumusan terjemahan tidak segera menunjukkan kepada kita makna yang jelas karena istilah memutuskan bisa membuat keputusan dan bisa juga membuat putusan.
      Pasal 3 ayat (3): Ketua Majelis, para anggota dan para penggantinya tidak boleh duduk dalam panitia yang menetapkan pajak untuk kepentingan negara…..ayat (4): Pejabat-pejabat lingkungan Departemen keuangan tidak dapat diangkat selaku Anggota Majelis atau penggantinya.
      Ketentuan pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) di atas hanya menunjukkan bahwa Raad tidak merupakan bagian dari Departemen keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak. Namun demikian apakah badan itu tidak termasuk lingkungan Departemen Pemerintahan sehingga dengan sendirinya merupakan suatu badan peradilan haruslah didukung oleh suatu landasan teori hukum untuk itu dan mungkin perlu ditegaskan melalui hukum positif secara cermat dan tepat.
       Pasal 4 ayat (1): sebelum diangkat dalam jabatan ketua dan para anggota pengganti majelis itu, diambil sumpah jabatan dihadapan Ketua Mahkamah Agung, dan sekretaris Majelis di hadapan  Ketua Majelis yang bunyinya sebagai berikut:…….
       Ketentuan pasal inipun tidak serta  menunjukkan bahwa raad ini merupakan badan peradilan. Bahwa suatu badan/lembaga bersumpah di hadapan Ketua Mahkamah dalam sistem ketatanegaraan kita dewasa ini adalah hal yang tidak khusus untuk pejabat dalam lingkungan badan peradilan.
      Dari ketentuan-ketentuan di atas kiranya sulit bagi kita untuk menegaskan eksistensi MPP sebagai suatu badan Peradilan.46)
Eksistensi lembaga peradilan pajak seperti Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), yang kemudian diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sendiri telah banyak menimbulkan kontoversi dalam bidang hukum. Yuridis Eksistensi Majelis Pertimbangan Pajak, Yuridika, No. 3 Tahun X, Mei – Juni 1996. Hal. 4Untuk itu melalui perubahan BPSP menjadi Pengadilan Pajak diharapkan ke depan peradilan pajak di Indonesia bisa lebih sempurna. Namun justeru sebaliknya, malah diawal pemberlakuan pengadilan pajak telah banyak  menimbulkan kontroversi dalam bidang hukum.
Di dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 dinyatakan:
       Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penangung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak
       Unsur yang menentukan bahwa suatu peradilan administrasi itu dapat disebut peradilan administrasi pajak ialah sifat dari para pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut pajak (fiskus) dan pihak lain adalah rakyat, khusus dalam sifatnya sebagai wajib pajak. Di dalamnya termasuk juga perselisihan-perselisihan antara alat perlengkapan negara satunya dengan alat perlengkapan negara lainnya, kedua-duanya dalam sifat sebagai penguasa yang berwenang memungut pajak atau sebagai pelaksana undang-undang pajak.47)

Pasal 1 angka (5) UU. No. 14 Tahun 2002 menyatakan:
       Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antar Wajib Pajak dan Penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Sengketa pajak pada hakekatnya merupakan persengketaan antara pihak rakyat (Wajib Pajak) versus pemerintah (selaku fiskus).
       Bahwa berbeda halnya dengan sistem yang berlaku di Perancis yang mengenal adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum, ataupun sistem yang berlaku di Inggris dan negara-negara berdasarkan hukum Anglo – saxon yang sama sekali tidak mengenal adanya peradilan administrasi, maka sistem Nederland menunjukkan ciri-ciri yang kompleks. Mengapa dikatakan kompleks?. Hal ini disebabkan oleh karena sengketa-sengketa   antara  rakyat /warganegara        (termasuk di dalamnya Wajib Pajak) dengan   pemerintah/administrasi   (fiskus)   diperiksa  dan diputuskan oleh bermacam-macam badan/organ, yang masing-masing hanya berwenang dibidangnya yang telah ditentukan oleh undang-undang. 48)

 Secara keseluruhan macam-macam badan/organ tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan pokok, yaitu:
a.       Administratief Beroep (upaya banding administratif)
Dalam hal ini pemutusan sengketa-sengketa dilakukan oleh badan/organ yang termasuk intern  pemerintah dan secara struktur organisatoris masuk dalam hirarki pemerintahan dan termasuk dalam wewenang eksekutif sendiri, yang menonjol dalam hal ini instansi-instansi pemerintah antara lain: (Raja/Ratu/Kroon/Mahkota) Dewan Propinsi (gedeputeerde staten), Komisaris Ratu (Commissaris des Konings), Menteri (Ministers), Dewan Kotapraja (Gemeenteraad).

b.      Peradilan Administrasi Khusus (Terbatas)
Dalam hal ini pemutusan sengketa-sengketa oleh Badan/organ yang termasuk kategori Peradilan administrasi yang bersifat khusus (Bijzondere administratieve Rechsspraak) dan bukanlah peradilan administrasi yang mempunyai yurisdiksi secara umum (Algemene administratieve Rechtsspraak) seperti halnya yang berlaku di Perancis (Tribunal Administratif dan Conseil d’etat). Badan/organ yang termasuk kategori peradilan administrasi khusus antara lain:
Dewan Pusat Banding (Centrale Raad van Beroep), badan ini memeriksa bandingan terhadap putusan dan atau Beschikking tentang bermacam-macam jensis jaminan sosial, putusan dari Peradilan kepegawaian (Ambtenarengerecht) dan masalah pensiun.
Dewan Banding terhadap Beshikking tentang badan usaha publik (College van Beroep voor hit Bedrijfsleven)
Dewan Pertimbangan Agung bagian Peradilan (Afdeling Rechtsspraak van de Raad van State). Badan ini menjalankan wewenangnya sebagai Peradilan administrasi khusus berdasarkan undang-undang/ wet A.R.O.B (Administratieve Rechtsspraak Overheids Bechkkingen) tahun 1976. Tugasnya adalah untuk menampung gugatan-gugatan terhadap Beschikking pemerintah yang belum di atur dalam sebuah undang-undang khusus tentang masalah Beroepnya. Dengan demikian maka badan ini merupakan pelengkap (aanvullend) bagi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap kesewenangan pemerintah apabila suatu jaminan Beroep tidak ada atau tidak diatur tersendiri oleh undang-undang.
Komisi Harga (Tariefcommissie)
 Badan ini kompetensinya adalah memeriksa sengketa yang menyangkut putusan duane tentang tarif bea masuk.
Hakim peradilan umum yang bertindak sebagai hakim administrasi.
Dalam hal ini hakim administrasi tersebut berwenang untuk memeriksa antara lain:
Keberatan tentang jumlah tagihan pajak yang dikenakan oleh inspektur pajak terhadap wajib pajak (diperiksa oleh Gerechtshop di dalam Belasting Kamer)
c.       Peradilan Umum yang Bertindak Sebagai Hakim Perdata Biasa
Dalam hal ini hakim dapat memeriksa dan memutuskan sengketa yang menyangkut tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian bagi perseorangan (ex pasal 1401 B.W. Belanda  = pasal 1365 K.U.H. Perdata Indonesia) ataupun tuntutan terhadap pembayaran tidak diwajibkan (ex pasal 1395 B.W. Belanda).
 Paulus Effendi Lotulung menjelaskan: 49)
         bahwa di dalam menjawab pertanyaan: kepada peradilan manakah suatu gugatan harus diajukan manakala terjadi sengketa antara individu dengan pemerintah, untuk itu maka harus di lihat dahulu pada tuntutan (petitum) apakah yang dituju oleh individu sebagai penggugat.  Apabila ia dianggapnya tidak sah, maka gugatan demikian itu harus diajukan ke peradilan administrasi khusus sesuai dengan jenis/obyek beshikking yang bersangkutan. Apabila Beshikking yang bersangkutan belum diatur secara khusus dalam perundang-undangan tentang upaya pembatalannya, maka gugatan diajukan ke Dewan Pertimbangan Agung (Raad van State). Bagian Peradilan yang memutuskan berdasarkan pada wet A.R.O.B sebagai suatu peraturan penampung. Sebaliknya apabila ia menghendaki suatu pembayaran ganti rugi oleh pemerintah kepadanya karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah, maka gugatan demikian ini merupakan suatu kasus/tuntutan perdata dan harus diajukan ke peradilan umum (Hakim Perdata) atas dasar pasal 1401 B.w dengan menerapkan teori “Onrechtmatige Overheidsdaad” atau ‘perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah”.

Dari paparan tersebut dapat ditarik pengertian sebagai berikut:
Bahwa di negeri Belanda telah tersedia 3 (tiga) alternatif upaya untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul antara individu/warganegara versus pemerintah/administrasi, yaitu melalui banding administrasi, Peradilan administrasi khusus dan peradilan Umum, upaya untuk mohon banding atas ketidak puasan dalam hubungan antara rakyat/individu versus pemerintah/administrasi tetap tersedia baik secara tegas diatur  dalam peraturan perundang maupun tidak diatur secara tegas di dalam peraturan perundangan.
Secara kronologis eksistensi lembaga peradilan pajak di Indonesia dengan berbagai nama dan dasar pembentukannya adalah sebagai berikut :
a.       Periode 1915 sampai dengan 1945 dengan nama “Raad van Beroep voor Belastingszaken” (Stb. 1915 No. 707 dengan berbagai perubahan terakhir dengan Stb. 1927 No. 29 jo. No. 136).
b.      Periode 1945 sampai dengan 1983 dengan nama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), (Stb. 1927 No. 29 dan No. 136 jo UU No. 5 Tahun 1959).
c.       Periode 1983 sampai dengan 1994 dengan nama Badan Peradilan Pajak selanjutnya disingkat BPP, yang pelaksanaannya dilakukan oleh MPP. (dengan UU No. 6 Tahun 1983, LN RI Tahun 1983 No.49 dan TLN RI No.3262)
d.      Periode 1994 sampai dengan 1997 dengan nama Badan Peradilan Pajak yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh MPP dan keputusannya dinyatakan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (dengan  UU No. 9 Tahun 1994, LN. RI. Tahun 1994 No. 59 dan TLN. RI. No.3566)
e.       Periode 1998 sampai dengan 2002 dilaksanakan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (dengan UU No. 17 Tahun 1997, LN RI Tahun 1997 No. 40 dan TLN RI No. 3684).
f.        Periode 2002 dan selanjutnya dengan nama Pengadilan Pajak (dengan UU No. 14 Tahun 2002 LN RI Tahun 2002 No.27, dan TLN RI No. 4189).
Dari ketentuan Pasal 27 UU No. 6 Tahun 1983 jo UU No. 9 Tahun 1994 sebenarnya nama lembaga yang diinginkan untuk menyelesaikan sengketa  pajak adalah Badan Peradilan Pajak namun ternyata ketentuan tersebut tidak pernah dapat terwujud terlihat dari hal di atas bahwa untuk menyelesaikan sengketa pajak dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukan oleh Badan Peradilan Pajak. Demikian juga halnya dalam rancangan undang-undang pengadilan  pajak sebenarnya digunakan istilah Badan Peradilan Pajak namun akhirnya nama yang disetujui adalah Pengadilan Pajak.
Mengenai alasan diubahnya judul Rancangan Undang-Undang dari Badan Peradilan Pajak menjadi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pajak menurut Abdillah zaini (Ketua Panitia kerja DPR-RI) adalah karena kata “peradilan” menunjuk pada suatu proses pengadilan, sementara kata ‘pengadilan” jelas-jelas menunjuk pada suatu institusi sehingga jika menggunakan kalimat badan peradilan pajak akan terdjadi duplikasi.50)

E. Keberatan Dalam Bidang Pajak

Keberatan itu menandakan bahwa ada perselisihan antara Wajib Pajak dengan administrasi pajak (fiskus).
Adapun hal-hal yang menyangkut keberatan adalah sebagai berikut:
1.      Pokok perselisihan
Yang menjadi pokok perselisihan dalam masalah keberatan pajak adalah bukan jumlah  hutang pajak yang harus dibayar tetapi apa yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan.
Pada PPh misalnya ada suatu kewajiban bagi wajib pajak untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai sarana Wajib Pajak untuk memberitahukan jumlah yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak  yang terhutang.
Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, jadi SPT harus diisi lengkap. Akan tetapi ada SPT yang tidak diisi atau tertulis dengan lengkap hal tersebut dapat disebabkan karena:
a.       ketidak tahuan dari si wajib Pajak.
b.      atau ketidak jujuran Wajib Pajak yang dengan sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan.
Dalam hal demikian Direktur jenderal Pajak tidak terikat dengan SPT itu dan selalu berwenang  untuk mengadakan penelitian dan penilaian dari SPT itu. Dengan wewenang tersebut berarti Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari SPT yang diajukan oleh Wajib Pajak dan apabila SPT yang diajukan oleh Wajib Pajak terbukti tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pajak secara jabatan dan pada umumnya penetapan pajak secara jabatan adalah jauh lebih besar dari jumlah perkiraan Wajib Pajak. Hal ini menimbulkan rasa ketidak adilan dari wajib Pajak oleh sebab itu maka ada Wajib Pajak yang mengajukan keberatan, sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan pajak tersebut.
2.      Pemasukan Surat Keberatan.
Surat keberatan harus diajukan atau dimasukkan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannyan surat penetapan pajak dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan-alasannya.
Untuk itu Wajib Pajak di beri hak untuk meminta dasar-dasar penetapan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan di atas.
Apabila ternyata bahwa batas  waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (force mayeur) maka tenggang waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur jenderal pajak.
Tanda bukti/resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu (dalam hal ini seksi keberatan Kantor Pelayanan Pajak) kepada Wajib Pajak atau tanda pengiriman surat keberatan melalui Pos Tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
Tanda bukti/resi penerimaan surat keberatan tersebut dapat  digunakan sebagai alat kontrol bagi Wajib Pajak untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua bulan belas itu berakhir untuk memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, karena apabila dalam jangka waktu tersebut wajib pajak tidak mendapat surat balasan/tanggapan dari Dirjen Pajak atas keberatannya yang diajukan maka keberatan wajib Pajak dianggap diterima.
Diterima atau tidaknya hak mengajukan surat keberatan sangat tergantung dari dipenuhi atau tidak dipenuhinya batas waktu  yang telah  ditentukan, yaitu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
Kemudian untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan surat keberatan maka pengajuan keberatan tidak menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan lelang.
Hal ini dimaksudkan agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat mencegah terganggunya penerimaan negara.
Apabila fiskus menerima surat keberatan maka langkah yang dilakukan adalah:
1.      Mengidentifikasi surat keberatan, keberatan diajukan dalam hal apa, misalnya keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau keberatan atas Surat Tagihan Pajak dan sebagainya.
2.      Melihat syarat-syarat formal, misalnya diajukan secarat tertulis dan dalam bahasa Indonesia yang baik, memenuhi ketentuan batas waktu yang telah ditentukan yaitu 3 bulan sejak diterbitkannya SKP atau dapat dibuktikan dalam keadaan yang lain atau force mayeur.
3.      Melihat alasan-alasannya, kuat atau lemah yang disertai data berupa bukti-bukti yang diperlukan berupa pembukuan atau faktur-faktur pajak yang lain.
4.      Kemudian memproses. Dalam proses ini yang pertama dilakukan adalah mencari data (berkas Wajib Pajak) dan Kertas Kerja Pemeriksaan (dasar timbulnya SKP) dan mencari bukti pendukung lain dalam hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukan atau melakukan pemeriksaan ketempat Wajib Pajak dengan membawa identitas pemeriksa dan Surat Perintah Melakukan Pemeriksaan.



3.      Isi Surat Keberatan
Surat keberatan paling sedikit harus memuat lima hal yang merupakan syarat minimum, yaitu:
a.       Penyataan bahwa Wajib Pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak.
b.      Jenis pajaknya.
c.       Tahun pajak;
d.      Nomor pokok wajib pajak.
e.        Tanda tangan dan nama Wajib Pajak

Lazimnya surat keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang Wajib Pajak keeratan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya surat keberatan. Meskipun demikian sebaiknya Wajib Pajak itu mengajukan alasan-alasan keberatan guna meyakinkan pejabat yang akan memberikan putusan atas keberatan itu.
Surat keberatan yang tidak disertai alasan-alasan adalah lemah karena itu besar kemungkinannya bahwa surat keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undang-undang pajak terhadap Wajib Pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah berkisar pada dasar-dasar pengenaan pajak yang telah diadakan.
Sebagai contoh pengenaan Pajak Penghasilan di mana penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri dari:
1.      penghasilan dari pekerjaan
2.      penghasilan dari kegiatan usaha
3.      penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
4.      penghasilan lain-lain.
Ke empat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi Wajib pajak tertentu, dan sekaligus menjadi dasar pengenaannya, dalam suatu keberatan, hal yang tidak dapat disetujui Wajib Pajak adalah dari sumber penghasilan dari kegiatan usaha.
Di sini Wajib Pajak mengaku hanya memperoleh tiga macam sumber penghasilan saja dan bukan empat macam sumber sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Fiskus melalui ketetapan pajak secara jabatan.
Secara umum dalam praktek, alasan-alasan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam mengajukan keberatan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.         Ketetapan jumlah pokok pajak tidak sesuai dengan SPT yang diajukan/dilaporkan.
2.         Fiskus keliru dalam menentukan objek yang dikenai pajak atau tidak dikenai pajak.
3.         Fiskus keliru dalam menghitung persentase  pengenaan.
4.         Fiskus keliru dalam menerapkan sanksi
5.         Wajib pajak tidak mengetahui, memahami cara menghitung pajak, inklusif cara mengisi SPT.
6.         Wajib Pajak merasa khilaf.
7.         Dalam keadaan krisis.

4.      Keberatan dengan lisan
 Rochmat Soemitro menyatakan: “pada prinsipnya kemungkinan mengajukan keberatan dengan lisan ada, lagi pula tidak dapat kami tunjukkan adanya larangan secara positif, jadi harus dibuka kemungkinan mengajukan keberatan dengan lisan”.51)
Dalam praktek keberatan dengan lisan ini tidak pernah diterapkan atau tidak pernah ada. Tapi menurut Penulis keberatan dengan lisan sebaiknya tidak diterima dengan alasan akan terjadi kesulitan dalam pemeriksaan dan masalah pembuktian (harus didukung dengan pembukuan jadi tetap tertulis).

5. Beban pembuktian dan alat bukti
Beban pembuktian yang berlaku di sini adalah pembuktian terbalik (omkerings van bewijlast) jadi Wajib Pajaklah yang harus membuktikan bahwa ketetapan yang diterbitkan oleh fiskus adalah salah. Untuk itu Wajib Pajak harus menunjukkan letak kesalahan dari suatu ketetapan dengan menunjukkan bukti tulisan, dapat merujuk pada
1.      ketentuan pasal-pasal peraturan perundang undangan perpajakan
2.      surat pemberitahuan yang sudah disampaikan
3.      pembukuan dari si Wajib Pajak, dan
4.      dapat pula berupa pengakuan dari si Wajib pajak bahwa



6. Putusan Atas Surat Keberatan.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Direktorat Jenderal pajak berkewajiban memberi keputusan atas keberatan yang diajukan kepadanya. Putusan yang diambil oleh Hakim Doleansi (keberatan) dapat berupa:
1.      Tidak dapat menerima surat keberatan yang bersangkutan; hal ini dapat disebabkan karena surat keberatan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat formil, misalnya tidak dimasukkan dalam tenggang waktu yang diatur dalam undang-undang , atau tidak memuat syarat-syarat minimum yang ditentukan.
2.      Menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memberikan keputusan. Hal ini terjadi jika surat keberatan diajukan kepada pejabat yang tidak berwenang memutuskan persoalan itu; misalnya surat keberatan terhadap pajak daerah diajukan kepada Kantor Pelayanan Pajak (Direktorat Jenderal Pajak).
3.      Menolak seluruhnya keberatan-keberatan; surat keberatan akan ditolak (seluruhnya) jika wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak sebagaimana ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan, bila terjadi pembalikan beban pembuktian, atau tidak dapat memberikan alasan-alasan  yang kuat tentang keberatan-keberatannya.
4.      Menolak sebagian keberatan; ada kalanya bahwa hanya sebagian keberatan Wajib Pajak yang ditolak dan yang sebagian lagi diterima dalam surat keputusan hakim doleansi keberatan yang ditolak akan disebutkan atau disertai alasan penolakannya.
5.      Mengabulkan seluruh kebaratan
Bila keberatan itu diterima/dikabulkan seluruhnya maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan sipemohon dapat diterima dan karena itu pajak dikurangkan, pengembalian jumlah pajak yang sudah dibayarkan dapat juga ditambahkan dengan bunga 2% dan setinggi-tingginya 24%.
Bila keberatan ditolak seluruhnya, berarti Wajib Pajak  tidak dapat membuktikan kesalahan ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.
Sehubungan dengan ditolaknya keberatan dari si Wajib pajak oleh Hakim Doleansi maka Wajib Pjak dapat mengajukan upaya hukum lebih lanjut, yaitu Banding kepada Pengadilan Pajak.



28) ). W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985, Hal. 16.
29) .  R. Subekti & R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971, hal. 82 – 83.
30) . Rochmat Soemitro, 1. Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi, laporan proyek survey, dalam terbitan BPHN, 1978, Hal. 10 – 11.


31)   Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997. Hal. 23.
32)   Rochmat Soemitro. 2. Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung-Jakarta, 1976, Hal. 4.
33)   Sjahran Basah, Op Cit., Hal. 29.
34) Loc Cit, Hal. 30.
35) Logemann, Het Staatsrecht in Indonesia, 1954. Hal 137.
36) Sjahran Basah, Loc Cit. Hal. 30
37) . Philipus M. Hadjon, (1), Lembaga Tertinggi Dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan, Bina Ilmu, Surabaya., 1987 Hal. 58.
38) Jimly Ashiddiqie, Pengaturan Konstitusi tentang Independensi Bank Central, Makalah disampaikan dalam Seminar Bank Indonesia Bersama Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 21 Mei 2002.
39) ) . Bandingkan dengan Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Bandung, 1993, Hal. 2.
40) . Philipus M. Hadjon, (2) Peradilan Tata Usaha Negara Menurut UU No. 5 Tahun 1986: Antara Harapan dan Permasalahan, Yuridika, No 7 Tahun II, Desember 87- Januari 1988, Hal. 2-3.
41) . Philipus M. Hadjon, (3), Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Bina Ilmu, 1987, Hal. 182.
42) Philipus M. Hadjon et al, (4), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law (Cetakan ketiga (revisi) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, Hal. 317.
43)  Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1. (3). Eresco, Bandung, 1986, Hal. 147.


44) Bohari, Op Cit. Hal. 100.

45) Ali Budiarto, Kasasi Terhadap Putusan Majelis Pertimbangan Pajak, Varia Peradilan, Tahun III, Nomor 16, Januari 1986, Hal. 10.
46)
47)Rochmat Soemitro, 2. Op. Cit., Hal. 48.

48) Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Buana Ilmu, Jakarta, 1986, Hal 34 - 37.
49) . Loc Cit., Hal. 7.

50) Abdillah Zaini dalam Berita Pajak No. 1463/Tahun XXXIV/15 Maret 2002, Hal. 5. 

51) Rochmat Soemitro ,Op Cit. Hal.

No comments:

Post a Comment